Memecah Kebisuan HIV/AIDS dari Uganda Pendeta Canon Gideon Byamugisha (48) menghadiri ibadah Oikumene di Gelanggang Olah raga Cendrawasi Apo, Jayapura, Bersama beberapa pendeta dan uskup, Canon Gideon mendoakan masyarakat Papua agar mampu membentangi diri dari bahaya HIV/AIDS.
Canon Gideon Byamugisha adalah salah seorang pengidap HIV/AIDS. Tak mudah hidup yang dilaluinya sejak ia divonis mengidap HIV/AIDS pada 1992. Keberangkatannya ke Jayapura tanggal 8 mei 2007 malam. Di Bandara Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang. Ia datang dari Uganda, Afrika Timur.
Memilih untuk terbuka Hubungan Canon Gideon Byamungisha dengan HIV dimulai tahun 1991. saat itu, sebagai teolog muda dari Uganda, ia bersama istrinya, Kellen, telah bersiap berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studi sastra 3. “Setelah enam bulan, baru saya diberi tahu bahwa istri saya mengidap HIV itu sudah tahun 1992.”
Namun, tiba-tiba istrinya mengalami sesak napas, yang diduga pneumonia. Seminggu kemudian Kellen meninggal dunia. Canon Gideon tidak siap menghadapi kenyataan tersebut. Dokter yang menangani istrinya pun tidak tega memberitahu Canon Gideon tentang penyebab kematian istrinya. “Setelah enam bulan saya bari diberi tahu bahwa istri saya mengidap HIV dan saya diminta untuk tes HIV dan saya melakukannya. Ternyata saya juga positif HIV.” Namun, hidup terus berjalan Canon Gideon pun berupaya memahami apa yang terjadi. Mengapa ini bisa terjadi pada dirinya? Ia menemukan jawabnya, selam hidup dia pernah mendapatkan tranfusi emat kantung darah dan menerima sekitar 350 kali suntikan malaria. Pada saat itu jarum suntik yang diggunakan di negaranya bisa jadi tidak steril.
“ Hal pertama yang saya lakukan adalah menerima kondisi ini. Saya meyakini Tuhan menyertai saya dalam hidup. Saya harus memecahkan kebisuan ini. Saya memutuskan menyatakan status saya pada keluarga , gereja, serta masyarakat. Ini agar tak ada lagi orang yang terkena HIV.”
Dengan makin tingginya kasus HIV di Uganda, Canon Gideon makin serius untuk memutus mata rantai penularan penyakit itu. Saaat ini di Uganda prevalensi HIV sebanyak 1.1 juta orang yang positif HIV, di mana sekitar 500.000 orang telah meninggal dunia. Maka, kira-kira dua juta anak-anak di Uganda pun hidup sebagai yatim piatu. Ia kemudian menjadi pembicara di mana-mana, Canon Gideon telah pergi ke 40 negara. Kenyataan di Papua pun menbuat Canon Gideon prihatin. Ketika mengetahui data yang tercatat 3.252 kasus HIV/AIDS di papua terbanyak sebab hubungan seksual beresiko, menurut dia, kondom bukanlah jawaban satu-satunya.
Pada 16 tahun terakhir Canon Gideon banyak bergelut dalam aktivitas melawan HIV/AIDS, seperti memberikan pelatihan kepada para konselor atau penyuluh HIV/AIDS, dan menjadi manajer pada pengawasan dan pencegahan HIV/AIDS. Ia menjadi semacam duta HIV/AIDS di wilayah Afrika Timur, Sudan, dan Negara-negara di Tanduk Afrika.
Strategi promosi pencegahan HIV/AIDS untuk kalangan pelajar dan mahasiswa di Uganda, dia mengucapkan setiap kali ada kesempatan berbicara dimanapun. Strategi tersebut adalah memastikan setiap siswa dan mahasiswa mendapatkan informasi yang tepat bagaimana cara penularan HIV/AIDS, pencegahan dan bersikap agar tidak terjadi diskriminasi, menggunakan radio dengan mengundang dokter, mengintegrasikan soal HIV/AIDS ke dalam mata pelajaran, serta melatih siswa dan mahasiswa sebagai kader sebaya. Selain itu setidaknya seminggu sekali, yakni setiap Jumat, selama satu jam di sekolah-sekolah ada pembicara tentang HIV/AIDS.
Saya ingin menganalisis dengan teori Difusi Inovasi yang diartikan oleh (Eve rett M.Rogers) yaitu teori tentang menyebarkan penemuan baru, saya mengambil artikel tersebut yang berjudul “Memecah Kebisuan HIV/AIDS dari Uganda” dari KORAN, KOMPAS, SELASA, 19 JUNI 2007. Dalam artikel ini saya dapat menarik kesimpulan dari Pendeta Canon Gideon Byamugisha yaitu sebagai Opinion Leader dari keagamaan yang dapat kita dengar, dipercaya banyak orang, dan dapat memberi pengaruh besar pada masyarakat. Dalam artikel ini berisi tentang Canon Gideon yang terkena HIV/AIDS dan istrinya juga meninggal akibat HIV/AIDS sangat menyedihkan ia hidup sangat terbebani tetapi ia bangkit lagi, ia menjadi saling terbuka kedapa semua orang bahwa ia terkena HIV/AIDS dan ia bertekad untuk mencegah terjadinya penularan penyakit HIV/AIDS. Canon Gidon mendatangi Papua dan mendoankan mereka yang terkena HIV/AIDS ia turut prihatin karena di Papua yang terkena HIV/AIDS sangat tinggi jumlahnya. Sebagai opinion leader ia merancang strategi untuk mendidik semua orang contohnya seperti siswa-siswa sekolah maupun mahasiswa, jemaat gereja, dan ia juga mendidik masyarakat lewat media radio.
Karena adanya seorang pendeta Canon Gideon is bisa menjadi penyalur informasi yang bersifat dipercaya oleh masyarakat, dengan kejiwaan keagamaan dan dapat dijadikan panduan bagi umat manusia. Inilah teori yang saya ambil yaitu Difusi Inovasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar