"Konsumerisme" perlu dibedakan dari "konsumsi". Dalam banyak hal bisa dikatakan, sejarah manusia adalah sejarah konsumsi (dan produksi). Sesudah dengan tangan telanjang kita memakai daun untuk makan, lalu memakai sendok-garpu sumpit guna mengonsumsi makanan. Konsumsi berkait pemakaian barang/jasa untuk hidup layak dalam konteks sosio-ekonomis-kultural tertentu. Ia menyangkut kelayakan survival. Sedangkan konsumerisme adalah soal lain lagi.
Maka konsumerisme adalah sebuah ideologi global baru. Konsumerisme merupakan paham atau aliran atau ideologi dimana seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Bagi para kapten iklan, konsumerisme seperti tambang emas yang tidak habis digali. Tetapi, bagaimana kita mengartikan praktik konsumerisme? Jika dipadatkan, kira-kira begini: konsumerisme adalah konsumsi yang mengada-ada. Soalnya adalah bagaimana kita tahu suatu konsumsi telah mencapai tahap mengada-ada? Sebagai contoh, bintang tenis AS, Serena Williams, mengaku terus shopping pakaian, tas, sepatu, dan aksesori anjingnya. "Aku terus shopping, belanja hal-hal yang tidak kubutuhkan; aku bahkan jarang memakainya." (The Guardian, 9/8/01).
Mereka yang menjadikan ke-konsumtif-annya sebagai gaya hidup adalah mereka yang secara tidak langsung menganut paham konsumerisme. Bagi banyak orang, konsumerisme seperti pemburuan prestasi. Konsumerisme bukan soal ada-tidaknya uang untuk shopping. Pun bukan soal laba besar yang dikeruk melalui permainan insting konsumen. Berapa dan apapun harganya, mereka yg menganut ideologi ini pasti akan membayarnya.Lalu, mengapa di tengah lautan kemiskinan yang luas, orang menumpuk barang-jasa bermerek yang berharga absurd? Kunci untuk memahami konsumerisme adalah psikologi, bagaimana "konsumsi yang mengada-ada" dilembagakan sebagai nirvana.
Dalam kasus ini, mereka diburu dengan harga absurd karena memberi kita klaim pada rasa pédé dan eksklusif. Lantaran eksklusif, maka juga prestise dan status. Fakta bahwa semua itu ternyata bukan nirvana tidak soal karena status dan rasa pédé tertinggi pun dengan cepat dilampaui, konsumerisme bagai urusan mengejar langit di atas langit. Orang tidak hanya merasa naik mobil, tetapi Jaguar; tidak hanya merasa mengenakan pakaian, tetapi memakai Armani.
Pada satu sisi, konsumsi memang bersifat mutlak. Keberlangsungan hidup manusia tidak bisa terlepas dari asupan pangan yang mereka nikmati. Peningkatan intensitas kebutuhan komoditas konsumsi secara rasio memang berkorelasi positif dengan pertumbuhan jumlah manusia.
Lebih lanjut hakikat konsumsi, dalam hidup manusia terkait dengan pemenuhan akan kebutuhan hasrat fisik manusia. Maslow dalam teorinya tentang piramida kebutuhan manusia, mengemukakan, bahwa kebutuhan manusia secara berurut meliputi; kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan), kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, kebutuhan rasa aman, serta kebutuhan akan status sosial.
Tempat : Mall Taman Angrek, dan Plaza Indonesia EX 20-25 Oct 2007, Siang (Pk. 15.00 - 21.00)
Pada pengamatan ini kami mau menjelaskan lebih jauh tentang konsumerisme khususnya pada para remaja pada jaman sekarang ini. Remaja saat ini sering menghabiskan waktu di mall mereka bisa pergi ke mall dalam waktu 1minggu 3-4x, biasanya setiap malam minggu setiap mall pasti ramai, apa lagi mall-mall elit pastinya dikunjungi banyak pemuda remaja masa kini, di restoran, café, bar, dan pusat perbelanjaannya. Mereka cenderung lebih sering nongkrong di mall dari pada di tempat hiburan lainnya. Apalagi sekarang banyaknya dibuka mall-mall baru dan tidak kalah saingnya setiap daerah sudah mendirikan mall-mall, walaupun Indonesia termasuk Negara miskin tetapi mall-mall akan selalu ramai dengan banyak konsumer khususnya para remaja.
Contohnya seperti Plaza Indonesia F. Bar ex setiap malam minggunya ramai akan anak-anak remaja ada music live band, juga suasana yang romantis. Mereka tidak keberatan pula dengan harga-harga minuman yang cukup tinggi kira-kira Rp.70.000-100.000 ke atas.
Mall Taman Angrek Metro adalah pusat perbelanjaan campuran disana terdapat banyak barang-barang bermerek dan terkadang ada yang diskon.seperti tas, baju,jaket,sepatu dll. Para remaja sering sekali mampir dan berbelanja walaupun tidak sangat berkepentingan mereka suka melihat-lihat model-model yang baru keluar saat ini. Karena banyaknya para remaja mengandalkan gengsi dan senang memakai barang-barang yang bermerek dari pada tidak bermerek.
Foto-foto di atas adalah pengambaran konsumerisme pada kalangan remaja kita ini. Seperti contoh-contoh yang telah kami berikan diatas tadi juga merupakan hobi kami. Dipandang dari sudut logika ini konsumerisme tidak aka nada matinya, karena sifat dasar pada manusia adalah tidak pernah puas, yang kaya tetap kaya dan kebutuhannya semakin bertambah, sedangkan yang miskin akan tetap miskin dengan kebutuhannya yang pas-pasan.
IV Pembahasan dan Analisis
Pada perkembangannya kini, manusia terjebak pada kompleksitas ragam komoditi yang hendak (secara sadar atau tidak) mereka konsumsi. Itu semua tak terlepas dari konstruksi sosial yang dibangun massa di dalam lingkungan manusia itu sendiri. Salah satunya yaitu peradaban modern yang tumbuh dari perkembangan umat manusia telah menunjukkan kemajuan paling tinggi. Namun perkembangan peradaban yang kian maju, tidak semuanya memiliki dampak positif, beberapa diantaranya memberikan implikasi yang kurang baik bagi manusia, berupa perubahan budaya, salah satunya adalah budaya konsumtif terhadap benda (material culture).
Parahnya konsumerisme ini cenderung lebih mewabah di negara - negara dunia ketiga seperti negara – negara miskin yang baru akan berkembang dan Indonesia merupakan satu diantaranya. Maka doktrin yg berlaku di masyarakat kita sekarang seakan akan mengharuskan setiap manusia yg lahir di negara tersebut untuk dicetak sebagai kelas pekerja atau class worker. Kelas pekerja ini tidak mempunyai kemampuan untuk mencipta atau memproduksi maka tidak heran kelas pekerja hanya ahli dalam satu hal: membeli atau mengkonsumsi. Sehingga memang masyarakat negara - negara di dunia ketiga ini memang cenderung untuk lebih konsumtif dibanding masyarakat di negara – negara maju.
Hal ini ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan semacam shopping mall, industri mode, kawasan huni mewah, kegandrungan terhadap merk asing, makanan serba instan (fast food), telepon seluler (hp) dan lain sebagainya. Dengan demikian, masyarakat akan terkondisikan untuk bergantung terhadap semua fasilitas yang disediakan. Parahnya, saat ini perilaku konsumtif tidak hanya terjadi pada orang dewasa saja, tetapi para remaja sekarang lebih cenderung berperilaku konsumtif.
Remaja ingin dianggap keberadaannya dan diakui eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha menjadi lingkungan tersebut. Kebutuhan untuk diterima dan menjadi sama dengan orang lain yang sebaya itu menyebabkan remaja untuk mengikuti berbagai atribut yang sedang popular. Salah satu caranya adalah dengan berperilaku konsumtif, seperti: memakai barang-barang yang baru dan bermerk , memakai kendaraan ke sekolah, pergi ke tempat-tempat mewah untuk bersenang-senang ( diskotik, restoran, kafe dan tempat-tempat lainnya) di berbagai penjuru
Dengan adanya semua fasilitas-fasilitas dan tempat perbelanjaan yang ada tersebut, memudahkan akses bagi masyarakat terutama remaja untuk berperilaku konsumtif. Karena untuk dianggap keberadaanya oleh lingkungan, ia harus menjadi lingkungan tersebut dengan cara mengkonsumsi dan menikmati semua fasilitas yang telah disediakan. Kesimpulannya, ini semua dilakukan oleh remaja semata-mata ingin diperhatikan dan ingin menunjukkan bahwa remaja sudah bisa menjadi dewasa, sudah bisa hidup dan bergaul layaknya orang dewasa. Tetapi akibatnya perilaku konsumtif ini akan terus menjadi kebiasaan
Faktor lain yang tak kala mendukung adalah munculnya majalah-majalah remaja yang menyerupai etalase toko. Isi majalah ini lebih banyak memamerkan produk-produk untuk dijual. Kalangan yang katanya masih dalam pencarian jatidiri ini menjadi sasaran empuk dari pasar. Pasar menawarkan
Kalau kita kritis, arus konsumerisme inilah yang menyebabkan pola hidup boros. Di kalangan remaja, dikenal istilah ‘borju’ yang diplesetkan menjadi ‘boros juajan.’ Kita terlalu tanpa daya di hadapan tawaran konsumsi itu. Baudrillard menegaskan, kita tidak lagi mengontrol produk (objek), tetapi kitalah yang dikontrol dan diatur oleh produk-produk tadi. Kita dihanyutkan dalam ekstasi konsumsi dan
Salah satu contohnya di Amerika sana tingkat penggunaan telepon selular masyarakatnya tidak lebih dari 50% jumlah penduduk. Di Indonesia tingkat penggunaan telepon selular masyarakatnya sudah mencapai hampir 70%. Contoh yang lebih nyata banyak diantara kita yang sekarang ini memiliki lebih dari satu ponsel yang satu GSM dan yang satu CDMA dan ternyata ponsel di Indonesia varian teknologinya itu jauh lebih canggih daripada ponsel yang beredar di Amerika. Bila ada ponsel jenis baru dari sebuah vendor launching di asia pasific, pasti pertama kali keluarnya di Indonesia dan itu adalah kenyataannya.
Momok “dunia instan” yang melanggengi perkembangan zaman belakangan ini, memang menjadi ikon sekaligus agama baru di masyarakat. Ketika suatu komoditi dikonstruksi serba instan, secara otomatis akan menggeser waktu konsumsi menjadi semakin pendek. Bertebarannya produk-produk sekali pakai yang terpampang di banyak media massa, menambah pendek rentang waktu pakai suatu komoditi.
Hal ini akan berimbas pada bertambah cepatnya intensitas kebutuhan akan bahan baku sebagai pemasok dari suatu produk. Selanjutnya, akan makin menguras persediaan input yang ada, baik yang dapat didaur kembali maupun tidak. Tak heran hal tersebut pun menjadi berbahaya ketika kapasitas faktor produksi (khususnya yang bersifat terbatas) tidak lagi mumpuni untuk memenuhi nafsu manusia tersebut. Akibatnya, akhir dari peradaban manusia akan dapat lebih cepat terjadi.
Perang imej tak pula bisa dielakkan. Intinya, akan timbul usaha-usaha untuk menanamkan pengaruh pada pihak-pihak yang lemah dan ketika hal itu berhasil, selanjutnya, kubu kuat akan leluasa tuk menentukan langkah selanjutnya yang tentu saja menguntungkan bagi mereka. Semisal, ketika kondisi sosio-budaya telah mengkonstruksi kulit putih sebagai warna ideal. Maka, dengan dihadapkan pada keragaman warna (kulit) manusia di muka bumi ini, segala usaha akan diupayakan tuk menyerupakan keberagaman warna umat manusia tersebut. Salah satu caranya, dengan penciptaan produk-produk pemutih, praktik transplantasi kulit, hingga trans genetika pada janin.
Pada dasarnya, ada beberapa hal kesimpulan penting yang harus kita sadari bersama.
Pertama, Perilaku konsumsi manusia memang tak bisa dilepaskan dari kondisi sosial dan budaya di mana manusia itu tinggal. Hakikat konsumsi harus dikembalikan pada nilai-nilai awalnya. Konsumsi sekali lagi adalah suatu naluri yang dimotori oleh fisik manusia. Ketika manusia merasakan lapar ia akan makan, ketika ia merasakan dingin ia akan berpikir untuk menggunakan sesuatu sebagai peredam rasa dingin tersebut.
Kedua, Semakin banyak konsumsi maka makin banyak pula produksi. Dan, makin banyak pula faktor produksi yang menguap dengan cepat. Beberapa khalayak berpendapat bahwa pembangunan yang berhasil ditandai dengan GNP (gross national product) yang tinggi. Dan, hal ini terkait erat dengan tingkat konsumsi yang tinggi pula. Manusia seolah mengalami trance setan konsumerisme akibat pembangunan akbar di bumi pertiwi ini. Konsumsi massa merajalela. Ketika pembangunan hanya diartikan dengan pembangunan fisik an sich, dan kecenderungannya bersifat sesaat, yang terjadi adalah kesia-siaan semata.
Ketiga, Adanya penyeragaman budaya (uniform culture). Artinya, ada pembangunan pemahaman massa dan penciptaan aksen serta batasan tentang idealitas. Sosio-budaya yang berkembang kini, sudah keluar dari hakikat konsumsi sebenarnya. Kondisi tersebut, mengarahkan manusia pada Mulai dari rambut yang ideal, warna kulit ideal, hingga bentuk hidung ideal. Bahkan, pula menyentuh ranah ras sampai agama ideal. Demikianlah, idealitas (dalam artian kondisi yang ideal/sempurna) dijadikan paham mutakhir menyambut era yang disebut global century ini.
Keempat, Masyarakat kini hampir tidak bisa lepas dari peran objek sebagai perumus eksistensi (status, prestise, kelas). Sekarang kebutuhan tidak lagi sekedar berkaitan dengan nilai guna suatu benda dalam rangka memenuhi fungsi utilitas atau kebutuhan dasar manusia, akan tetapi kini berkaitan dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status atau simbol sosial tertentu.
Beberapa langkah atau saran untuk memerangi konsumerisme ini adalah sebagai berikut:
* Setiap manusia dari semua kalangan harus mampu memprioritaskan konsumsi pada hakikat awalnya, dengan tanpa menafikan kondisi sosio-budaya di mana manusia itu tinggal. Manusia yang bermukim di wilayah dingin Antartika tentu berbeda dengan mereka yang bermukim di daerah tropis India. Mulai dari apa yang mereka makan, hingga apa yang mereka pakai. Demikianlah sejatinya yang dapat dijadikan pembedaan ragam komoditi konsumsi di tiap-tiap wilayah.
* Pembangunan, akan berjalan baik serta berkesinambungan apabila dilakukan penekanan langsung terhadap kualitas, dan bukan kuantitas. Ibarat kacang, yang dititikberatkan bukan kulit melainkan isinya. Sehingga, efisiensi dari penggunaan faktor produksi untuk kebutuhan konsumsi akan dapat tercapai. Pemborosan penggunaan energi dapat pula diminimalisir.
* Maka dari itu, perlu adanya usaha minimal dengan memberikan informasi tentang prilaku konsumtif yang terjadi dikalangan remaja, yaitu dengan cara melakukan “kampanye konsumerisme di kalangan remaja”. Dengan mensosialisasikan pemahaman tentang perilaku konsumtif remaja tentang pengertian, pemahaman serta dampak-dampak apa saja yang dapat ditimbulkan dalam diri remaja akibat dari perilaku konsumtif. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan kesadaran bagi semua kalangan remaja untuk menarik diri dari jeratan konsumerisme yang semakin tinggi.
* Remaja juga bisa mengimbangi pengaruh konsumerisme dengan kegiatan positif yang lain seperti mengikuti kegiatan olahraga, kesenian, kelompok-kelompok diskusi, atau berorganisasi. Lewat kegiatan seperti itulah, mereka bisa mengatasi masalah sosial tersebut. Tentu saja, untuk melawan pengaruh buruk globalisasi ini, perlu pula didukung orang tua, masyarakat dan juga pemerintah dengan menyediakan media bagi remaja untuk berkreasi. Dengan beragam kegiatan positif ini, kita bisa mengasah kepekaan sosial, rasa nasionalisme, dan patriotisme terhadap bangsa.
* Pemerintah harus lebih memperhatikan remaja-remaja berprestasi, maka rasa nasionalisme dan patriotisme akan lebih tumbuh. Dewasa ini, Penghargaan pemerintah terhadap remaja berprestasi masih sangat kurang. Ia mencontohkan, bagaimana juara olimpiade fisika, kimia, biologi, atau juara-juara lainnya yang mengharumkan nama bangsa kurang dihargai baik secara materi maupun pengakuan sosial. Kenapa juara kontes idola saja mendapat hadiah mobil mewah? Sementara mereka yang juara dunia olimpiade tak dapat apa-apa? Hal itu telah merangsang remaja untuk berlomba-lomba memilih berkiprah di jalur entertainment yang lebih banyak memberi penghargaan dan pengakuan. Mereka yang berprestasi, kini lebih banyak diambil dan disekolahkan negara lain. Jadi tak heran bila kita banyak kehilangan aset bangsa sendiri yang sangat berharga yaitu para generasi muda yang menjadi penentu nasib dan masa depan bangsa ini.
* Hari Tanpa Belanja (B.Inggris: Buy Nothing Day) adalah sebutan hari tidak resmi untuk melawan Budaya Konsumerisme. Orang-orang yang merayakan hari tersebut tidak akan melakukan transaksi jual-beli selama 24 jam, kemudian biasanya partisipan melakukan aksi kampanye yang menyerukan bahaya konsumerisme kepada publik, dan mengajak mereka untuk berpartisipasi.Kini Hari Tanpa Belanja telah dirayakan secara internasional di lebih dari 30 negara.
Hari Tanpa Belanja bertujuan untuk memberikan kesadaran publik agar mereka lebih peka terhadap apa yang mereka beli, dan seharusnya mempertanyakan produk-produk yang mereka beli dan perusahaan – perusahaan yang membuatnya. Serta membuat orang berhenti dan berpikir tentang apa dan seberapa banyak yang mereka beli telah berpengaruh pada lingkungan dan negara-negara berkembang.
Di Amerika Serikat dan Kanada, Hari Tanpa Belanja biasanya dirayakan sehari setelah hari perayaan Thanksgiving. Namun di Indonesia, Hari Tanpa Belanja biasa dirayakan pada hari Sabtu pada minggu terakhir bulan November. Begitu juga ditempat lainnya, hari dipilih berdasarkan hari yang paling memungkinkan pada saat itu orang-orang menghabiskan waktu untuk berbelanja. Dengan dicanangkan Thanksgiving ini diharapkan dapat mengurangi tingkat konsumerisme di kalangan remaja khususnya di
4 komentar:
Thanks. Artikel yang excellent.
Salam,
Bagus, bangunan logikanya solid, namun menurut saya terlalu radikal menarik bandol logika ke sisi negatif, menyebabkan artikel ini gagal melihat konsumerisme dari sisi lain.
Oya, ada satu hal yang mengganggu saya - cuma satu, dan selain itu semuanya mengesankan, ada kesalahan dalam memaknai pernyataan dari Baudrillard saya kira. pernyataan baudrillard maupun baudlliard di bukunya yasraf tidak dimaksudkan seperti yang coba ditafsirkan penulis.
Artikelnya udah cukup baik. Mungkin bisa ditambahkan dengan referensi untuk mengetahui sumber asli beberapa fakta atau pnegetahuan yang terdapat dalam artikel ini. Terima Kasih
Nice info. Oiya ngomongin pemborosan, kamu pernah ga sih merasa udah hidup biasa-biasa aja (ga pernah boros), tapi nyatanya duit bulanan selalu habis? Biasanya, itu karena kamu ngeluarin uang buat hal-hal yang sebenernya sepele. Itu ada istilahnya loh, namanya Latte Factor. Mau tau lebih lengkapnya? Cek di sini yuk:
Apa sih Latte Factor itu?
Posting Komentar